Hening Gendis


Yang aku tahu, Gendis adalah perempuan yang mandiri walau sifat malasnya lebih sering timbul. Bukan tak pernah merasakan pelukan Bapak dan tak merasakan kasih Ibu yang sibuknya minta diampuni terus-terusan. Hanya saja,  Gendis lebih memilih untuk memakluminya dan mencoba mengerti.

Orang-orang di sekitarnya selalu beranggapan bahwa Gendis adalah gadis yang mandiri dan kuat. Entah mandiri atau terbiasa sendiri- tak ada yang tahu. Tak sedikit pula yang bilang kalau ia anak yang jalan pikirnya sulit dipahami. Gendis anak yang baik, menurutku. Mungkin sesekali ia mengecewakan Bapak atau Ibu. Atau mungkin dirinya sendiri. Tak ada yang sempurna, bukan?

"Kamu itu perempuan, Ndis. Seharusnya kamu bantu Ibu. Ibu sudah sakit-sakitan," kata Bapak. Gendis baru pulang dari kerjanya. Terkadang Gendis tak bersuara dan tak melakukan apa-apa. Terkadang juga menangis di kamarnya. Tak jarang Gendis memaksakan dirinya untuk melakukan perintah Bapak atau Ibu dengan kesal dan sedikit sedih. Gendis tetap diam. Berusaha tak memberatkan dirinya.

Tak jarang Gendis berlari mencari keheningan di tengah keramaian. Awalnya aku merasa aneh dengan kebiasaan Gendis yang seperti itu. Semakin sering aku menemani Gendis jalan-jalan, aku semakin paham. Dia memperhatikan hal-hal seperti, melihat kaki-kaki kecil yang berlarian ke sana kemari tanpa peduli pada pendahulunya. Gendis suka memperhatikan hal-hal yang berlalu lalang. Menyukai hal-hal yang tak pasti dan yang tak banyak dipikirkan orang.

Sesampainya di rumah, dia mulai kembali tersenyum. Seolah sudah benar-benar lupa dengan hidup yang harus ia tanggung. "Kenapa pulang malam?" tanya Eyang. "Habis jalan-jalan," jawabku melihat Gendis yang memasang muka kusut. Selalu seperti itu saat Eyang bertanya kenapa pulang terlambat. Gendis merasa dia punya kehidupan untuk dirinya sendiri. Tak melulu yang itu-itu saja.

Tapi Gendis mengajariku banyak hal dari keheningannya. Bahwa aku hanya perlu merasa sepi untuk sesekali. Melepaskan diri dari apa yang mengikat dan mengekang. Untuk menjadi apa adanya diriku tanpa menuntut diriku. Bahwa tak selalu harus berbicara untuk menyelesaikan sesuatu. Cukup menggerakan anggota tubuh lainnya.

Gendis mengajariku kalau takut sepi bisa dilawan. Dia menunjukkan kepadaku bahwa yang namanya sendiri, tidak begitu buruk dan tak selalu buruk. "Ada kebaikan-kebaikan kecil dalam keheningan," katanya menatap mataku lalu tersenyum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menuju Hal-Hal Baik

Bab 22